Chapnews – Ekonomi – Pemerintah resmi menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan DPR pada 7 Oktober 2021. Namun, apa sebenarnya alasan DPR menyetujui kenaikan PPN ini? Mari kita telusuri sejarah dan pertimbangan di balik keputusan tersebut.
Perjalanan UU HPP dimulai pada 5 Mei 2021, ketika Presiden Jokowi mengirimkan surat presiden (surpres) bernomor R-21/Pres/05/2021 kepada DPR. Surpres ini ditanggapi DPR melalui surat nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 pada 22 Juni 2021. Saat itu, UU HPP masih dikenal sebagai revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Proses pembahasan RUU HPP kemudian berlanjut. Pada 28 Juni 2021, Komisi XI DPR RI memulai pembahasan bersama pemerintah, membentuk panitia kerja (panja) untuk merumuskan aturan tersebut. Setelah melalui berbagai tahapan diskusi dan pertimbangan, RUU HPP akhirnya disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-7 pada 7 Oktober 2021.
Dolfie Othniel Fredric Palit, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP sekaligus Ketua Panja RUU HPP, melaporkan persetujuan delapan fraksi—PDIP, Gerindra, Golkar, NasDem, PKB, Demokrat, PAN, dan PPP—untuk membawa RUU HPP ke rapat paripurna pada 29 September 2021. Hanya Fraksi PKS yang menolak pengesahan. Dolfie menjelaskan bahwa setelah rapat kerja Komisi XI DPR dengan pemerintah, Panja memutuskan untuk melanjutkan pembahasan ke tingkat II dalam rapat paripurna, yang berujung pada pengesahan UU HPP. Meskipun detail pertimbangan masing-masing fraksi tidak dijelaskan secara rinci dalam berita ini, persetujuan mayoritas fraksi menunjukkan adanya dukungan terhadap kenaikan PPN sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara dan mendukung program pembangunan. Kenaikan PPN ini diharapkan dapat mendongkrak pendapatan negara untuk membiayai berbagai program pemerintah.