Chapnews – Nasional – Usulan Presiden Prabowo Subianto agar pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan melalui DPRD, bukan lagi secara langsung, telah memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat. Gagasan ini disampaikan Prabowo dalam pidato HUT ke-60 Golkar di Sentul, Bogor, Kamis (12/12). Prabowo berargumen bahwa sistem ini dapat memangkas anggaran negara yang fantastis, sehingga dana tersebut bisa dialokasikan untuk program-program prioritas yang lebih bermanfaat bagi rakyat. Ia mencontohkan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan India yang menerapkan sistem serupa.
Dukungan terhadap usulan ini datang dari berbagai pihak, terutama dari mayoritas partai politik di DPR. PKB, NasDem, Golkar, PAN, dan PKS menyatakan setuju untuk mengevaluasi sistem pilkada langsung dan mempertimbangkan pemilihan melalui DPRD. Mereka melihat potensi penghematan anggaran dan efisiensi pemerintahan sebagai poin positif. Bahkan, MUI turut mendukung, melihat pilkada langsung kerap menimbulkan dampak negatif. Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, juga menilai usulan tersebut layak dikaji, terutama terkait efisiensi anggaran dan potensi kerawanan sosial.
Namun, usulan ini menuai penolakan keras dari kalangan masyarakat sipil. Para pakar dan pemerhati kepemiluan menilai bahwa sistem ini hanya akan memindahkan praktik politik uang dari ruang publik ke ruang tertutup di DPRD, tanpa menyelesaikan akar masalah korupsi di internal partai politik. Mereka khawatir partisipasi masyarakat akan tergerus dan proses pemilihan akan berlangsung di balik tirai kekuasaan, jauh dari pengawasan publik. Titi Anggraini dari FISIP UI misalnya, menekankan bahwa masalah utama bukan pada mekanisme pemilihan, melainkan pada lemahnya penegakan hukum dan demokrasi internal partai politik. Senada, Herdiansyah Hamzah dari Universitas Mulawarman menilai usulan tersebut sebagai pengamputasian partisipasi warga.
Perdebatan ini pun semakin memanas. Sementara sebagian pihak melihat potensi penghematan anggaran sebagai keuntungan utama, pihak lain mempertanyakan transparansi dan keadilan proses pemilihan jika diserahkan sepenuhnya kepada DPRD. Debat ini pun menyoroti dilema antara efisiensi anggaran dan partisipasi publik dalam menentukan pemimpin daerah. Pertanyaannya kini, akankah usulan ini benar-benar diimplementasikan, dan bagaimana dampaknya terhadap demokrasi di Indonesia?