Chapnews – Ekonomi – Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada awal tahun depan menuai pro dan kontra. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menyoroti perlunya kajian ulang terhadap kebijakan ini. Menurutnya, penerapan PPN 12% harus mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini dan daya beli masyarakat.
Esther menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi sebelum menaikkan tarif pajak. Mengacu pada Teori Laffer, ia menjelaskan bahwa peningkatan pendapatan pajak (tax revenue) berasal dari pertumbuhan ekonomi yang sehat, bukan sebaliknya. "Ekonomi tumbuh dulu, baru penerimaan pajak meningkat. Bukan tarif pajak dinaikkan, lalu ekonomi otomatis tumbuh," tegas Esther, seperti dikutip dari Antara, Rabu (25/12/2024).
Ia menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap rencana kenaikan PPN tersebut. Apakah kenaikan PPN 12% sesuai dengan kondisi ekonomi saat ini dan prospek ke depan? Jika setelah dikaji, kenaikan PPN dinilai kurang tepat, pemerintah harus berani menunda implementasinya. Kenaikan PPN yang dipaksakan, menurut Esther, berpotensi mengganggu pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Keputusan ini, menurutnya, harus didasarkan pada data dan analisis yang komprehensif, bukan hanya target penerimaan negara semata. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.