Chapnews – Ekonomi – Presiden Prabowo Subianto dihadapkan pada desakan publik terkait kenaikan PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025. Desakan ini muncul di tengah kekhawatiran akan dampaknya terhadap perekonomian nasional dan daya beli masyarakat. Salah satu solusi yang mengemuka adalah pemanfaatan kewenangan presiden untuk membatalkan kenaikan tersebut.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menyarankan agar Presiden Prabowo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Langkah ini dinilai sebagai solusi legal dan realistis mengingat kondisi ekonomi saat ini yang kurang menggairahkan dan kenaikan PPN berpotensi memperparah situasi. "Betul, intinya political will dan itu (menggunakan Perppu) bisa karena saat ini kita akui kondisi ekonomi sedang lesu dan kurang bergairah," tegas Esther dalam keterangannya, Kamis (26/12/2024).
Esther menambahkan, penerbitan Perppu untuk membatalkan kenaikan PPN merupakan opsi yang tepat. Kenaikan PPN seharusnya ditunda hingga kondisi ekonomi membaik dan daya beli masyarakat pulih. "Peran Presiden untuk memutuskan dan menunda kebijakan tarif PPN ini sangat memungkinkan. Pertanyaannya, apakah hal itu mau dilakukan? Menurut saya kenaikan PPN ini bisa ditunda sampai ekonomi kita benar-benar kembali bergairah," jelasnya. Ia menekankan pentingnya pemerintah mempertimbangkan dampak kebijakan fiskal terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebelum mengambil keputusan. Penundaan, menurutnya, akan mencegah distorsi pada PDB. Dengan kata lain, kebijakan fiskal harus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, bukan malah menghambatnya.