Chapnews – Nasional – Komisi X DPR RI telah menuntaskan pembahasan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang akan menjadi payung hukum penting bagi dunia pendidikan. RUU ini mengintegrasikan berbagai UU terkait pendidikan, termasuk UU Pesantren, untuk menciptakan tata kelola pendidikan yang lebih efektif dan sinkron.
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menegaskan bahwa RUU Sisdiknas ini justru akan memperkuat posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional. "Revisi UU Sisdiknas ini akan mempertegas posisi pendidikan keagamaan, termasuk pesantren agar semakin diakui dan terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional," ujarnya, seperti dikutip chapnews.id dari Antara.

Menurut Hetifah, RUU Sisdiknas akan memiliki bab khusus yang mengatur jenis pendidikan keagamaan dan pesantren. Hal ini akan memberikan sejumlah keuntungan strategis, seperti kesetaraan, kualitas, dan keberlanjutan pendidikan di seluruh satuan pendidikan, termasuk pesantren, madrasah, dan lembaga pendidikan berbasis agama lainnya.
Penegasan pendidikan keagamaan dalam RUU Sisdiknas juga akan menjamin pengakuan formal terhadap sistem pendidikan keagamaan pada kerangka pendidikan nasional. Dengan demikian, lulusan lembaga keagamaan memiliki akses yang sama terhadap jenjang pendidikan dan lapangan kerja.
"Selain itu, penguatan ini memungkinkan adanya dukungan anggaran, peningkatan mutu tenaga pendidik, serta standardisasi infrastruktur pendidikan, tanpa menghilangkan kekhasan nilai-nilai keagamaan yang menjadi ciri utama lembaga tersebut," imbuh Hetifah.
Hetifah juga menyinggung musibah runtuhnya musala Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai pengingat pentingnya perhatian pemerintah terhadap sarana dan prasarana pendidikan keagamaan. "Melalui revisi UU Sisdiknas ini, kami ingin memastikan negara hadir dalam menjaga keberlangsungan pendidikan pesantren, termasuk pendidikan berciri khas keagamaan lainnya, aman, berkualitas, dan berkelanjutan," tegasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi X DPR Maria Yohana Esti Wijayanti mengatakan pihaknya telah menyelesaikan revisi UU Sisdiknas. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. "Kami perlu menyampaikan bahwa kami baru saja menyelesaikan di internal Komisi X terkait dengan revisi Undang-Undang Sisdiknas sehingga pada masa sidang ke depan Undang-Undang Sisdiknas ini akan kita serahkan kepada badan legislasi," katanya di Manado, Sulut, Senin (6/10).
Di tingkat baleg, kata dia, akan dilakukan pendalaman lebih lanjut untuk kemudian menjadi hak inisiatif DPR RI dalam merancang undang-undang. UU Sisdiknas eksisting yang sudah berusia 22 tahun, kata dia, perlu perubahan-perubahan termasuk beberapa masukan terkait dengan kurikulum, kesejahteraan guru dan terkait juga dengan wajib belajar 13 tahun yang sekarang menjadi domain skala prioritas Presiden RI Prabowo Subianto.
"Kita melakukan metode kodifikasi, ini beda dengan omnibus law. Jadi kalau kodifikasi itu beberapa undang-undang akan dijadikan satu dan kemudian setiap undang-undang perubahannya di mana, itu dilihat," ujarnya.
Menurut dia, rancangan undang-undang tersebut harus sudah mulai disebarluaskan berikut dengan naskah akademiknya. Kunci pendidikan ke depan, kata dia, adalah bagaimana Undang-Undang Sisdiknas tersebut bisa memberikan ruang lebih baik dan memberikan jawaban atas sejumlah persoalan terkini seperti soal akal imitasi (AI) dan digitalisasi.
Sebelumnya RUU Sisdiknas masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025 yang telah ditetapkan DPR. RUU tersebut sebelumnya diusulkan Komisi X di awal periode lalu. Dalam sistem perundang-undangan, metode penggabungan juga biasa disebut Omnibus Law. DPR dalam lima tahun terakhir mulai menggunakan metode tersebut lewat UU Cipta Kerja hingga UU Kesehatan.
Pada 3 Juni lalu, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Atip Patipulhayat mengatakan rencana menggabungkan sejumlah undang-undang tersebut karena selama ini pemerintah tak memiliki aturan tunggal tentang sistem pendidikan nasional.
UU Sisdiknas, lanjut dia, selama ini dianggap hanya mengatur sistem pendidikan untuk tingkat dasar dan menengah. Sedangkan, pendidikan tinggi diatur lewat undang-undang berbeda, begitu pula dengan undang-undang guru, dosen, maupun pesantren. "Jadi seolah-olah undang-undang ini milik Dikdasmen, sementara pendidikan tinggi ada undang-undang tentang pendidikan tinggi, dan guru, dosen kementerian agama punya juga," katanya kala itu. (antara/kid)



