Chapnews – Nasional – Ketua DPP Golkar, Hetifah Sjaifudian, tampak enggan berkomentar banyak terkait penolakan usulan mendiang Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional oleh sejumlah koalisi sipil. Dalam wawancara di Hotel Pullman, Jakarta, Senin (21/4) malam, Hetifah menyatakan belum menerima informasi mengenai penolakan tersebut. "Saya kira, kalau ada penolakan saya belum mendapatkan, menerima (informasi)," ujarnya singkat.
Namun, Hetifah menjelaskan bahwa usulan tersebut diajukan oleh Fraksi Golkar di MPR setelah melalui pembahasan internal. Proses tersebut, katanya, juga melibatkan Satkar Ulama Indonesia, organisasi sayap Partai Golkar. "Ya tentu kita menghargai usulan tersebut dan kami sebagai ya tentu saja bagian dari Golkar akan men-support apapun hal yang positif untuk kepentingan bangsa," tegasnya.

Sebelumnya, Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) secara tegas menolak usulan ini. GEMAS berargumen bahwa rekam jejak Soeharto selama 32 tahun berkuasa diwarnai kekerasan terhadap warga sipil, pelanggaran HAM berat, penyalahgunaan kekuasaan, dan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Hal ini, menurut mereka, bertentangan dengan nilai-nilai kepahlawanan.
Informasi dari Kementerian Sosial menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) tengah membahas nama-nama calon pahlawan nasional, dan nama Soeharto termasuk di dalamnya. Ironisnya, pasca reformasi, negara telah mengakui pelanggaran HAM berat dan praktik KKN di era Soeharto melalui TAP MPR No. IV/MPR/1999 dan TAP MPR No. XI/MPR/1998.
KontraS, salah satu organisasi di dalam Koalisi GEMAS, menekankan pentingnya mempertimbangkan upaya perbaikan situasi dan kehidupan bernegara pasca Orde Baru. Mereka berpendapat bahwa pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto akan mengabaikan hak korban pelanggaran HAM dan justru menormalisasi kekerasan. "Hal ini penting demi hak dan harkat martabat keluarga korban pelanggaran berat HAM dan pelanggaran HAM yang menanti keadilan, serta masa depan generasi muda yang tidak menormalisasi kekerasan," tegas KontraS dalam siaran persnya. Pernyataan ini menimbulkan perdebatan sengit di publik dan menjadi sorotan utama berbagai media.