Chapnews – Nasional – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materi Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) telah menimbulkan beragam reaksi. MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis (2/1). Keputusan ini membuka peluang bagi partai politik untuk lebih leluasa mengusung capres tanpa batasan.
Pengamat hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyoroti pentingnya revisi UU Pemilu pasca putusan ini. Ia menekankan perlunya mekanisme rekrutmen dan seleksi capres yang ketat dan demokratis di internal partai politik, bukan hanya berdasarkan popularitas semata. "Parpol harus memastikan calon yang diusung lahir dari proses rekrutmen yang demokratis, bukan sekadar diputuskan oleh elite-elite partai secara eksklusif," tegas Titi kepada chapnews.id. Titi juga menyarankan penerapan sistem primary election atau mekanisme internal serupa untuk memastikan kualitas capres. Ia menambahkan syarat kader minimal lima tahun di partai sebelum pendaftaran sebagai upaya mencegah "kutu loncat" politik.

Senada dengan Titi, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai putusan MK ini sebagai harapan baru bagi perbaikan sistem demokrasi. YLBHI melihat putusan ini sebagai langkah untuk mengikis dominasi oligarki yang selama ini dinilai merusak sistem politik dan Pemilu Presiden. Namun, YLBHI juga mengingatkan pentingnya pengawasan terhadap revisi UU terkait, mengingat potensi penafsiran yang keliru seperti yang terjadi pada UU Pilkada sebelumnya. YLBHI menyerukan masyarakat untuk mengawal putusan MK ini.
Di sisi lain, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB, Indrajaya, mengusulkan agar proses pendaftaran partai politik diperketat untuk membatasi jumlah pasangan calon presiden. Ia menyarankan beberapa opsi, seperti membatasi partai pengusung capres hanya pada partai yang lolos parlemen, atau mengadakan konvensi internal/antar partai.
Putusan MK ini, yang dilayangkan oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, memungkinkan setiap partai politik untuk mengusung capres dan cawapres. Namun, MK merekomendasikan agar partai-partai membentuk koalisi untuk mencegah membludaknya jumlah pasangan calon, dengan catatan koalisi tersebut tidak mendominasi. Pertanyaan besar kini adalah: bagaimana memastikan kuantitas dan kualitas capres pasca penghapusan presidential threshold? Revisi UU Pemilu dan pengawasan ketat menjadi kunci jawabannya.